Minggu, 30 Januari 2011

Ular Hijau adalah sejenis ular berbisa yang berbahaya. Memiliki nama ilmiah Trimeresurus albolabris, ular ini juga dikenal dengan nama-nama lain seperti oray bungka, oray majapait (Sd.), ula bangka-laut atau ula gadung luwuk (Jw.), tarihu (Dompu), dan lain-lain. Dalam bahasa Inggris disebut dengan nama white-lipped tree viper, white-lipped pit-viper, merujuk pada bibirnya yang berwarna keputih-putihan, atau bamboo pit-viper karena kebiasaannya berada di rumpun bambu.


Pemerian

Ular yang sedang besarnya, agak gemuk pendek dan tak begitu lincah. Kepala jelas menjendol besar, seperti seekor kodok yang ‘tertancap’ di atas leher yang mengecil. Memiliki dekik pipi (loreal pit) yang besar dan menyolok di belakang lubang hidung di depan mata. Sepasang taring besar dan panjang yang bisa dilipat terdapat di bagian depan rahang atas, tertutup oleh selaput lendir mulut.
Panjang ular jantan sekitar 60 cm dan yang betinanya bisa mencapai 80 cm. Berekor kecil pendek, sekitar 10-13 cm, namun kuat ‘memegang’ ranting yang ditempatinya (prehensile tail).
Trimeresurus albolabris jantan
Kepala dan tubuh bagian atas (dorsal) berwarna hijau daun, dengan bibir keputihan atau kekuningan (albolabris; albus, putih dan labrum, bibir). Terdapat warna belang-belang putih dan hitam pada kulit di bawah sisik pada tubuh bagian depan, yang baru nampak bila ular merasa terancam. Sisi bawah tubuh (ventral) kuning terang sampai kuning pucat atau kehijauan; pada hewan jantan dengan garis kuning yang lebih tua (atau lebih nyata) pada batas dengan warna hijau (garis ventrolateral). Sisi atas ekor berwarna kemerahan, seolah-olah terpulas oleh lipstik.
Tak seperti kebanyakan ular, yang sisi atas kepalanya tertutup oleh sisik-sisik berukuran besar (disebut perisai) yang tersusun simetris, sisi atas kepala ular bangkai laut (dan umumnya marga Trimeresurus) ini ditutupi oleh banyak sisik kecil yang terletak tidak beraturan; setidaknya, tak membentuk pola simetris. Melintasi atas kepala di antara kedua matanya, terdapat sekitar 8-12 deret sisik kecil; tidak termasuk sebuah perisai supraokular yang sempit memanjang --kadang-kadang membesar pula-- di atas masing-masing bola matanya. Perisai labial (bibir) atas 10-11 (12) buah; yang paling depan bersatu sebagian atau seluruhnya dengan perisai nasal (hidung).
Sisik-sisik dorsal kasar berlunas, tersusun dalam 21 (jarang 19) deret. Sisik ventral 155-166 buah pada hewan jantan, dan 152-176 pada yang betina. Sisik subkaudal (di bawah ekor) 60-72 pasang pada ular jantan dan 49-66 pasang pada ular betina.

Kebiasan

Ular yang aktif di malam hari (nokturnal) dan tidak begitu lincah. Kerap terlihat menjalar lambat-lambat di antara ranting atau di atas lantai hutan; meskipun apabila terancam dapat pula bergerak dengan cepat dan gesit. Menyukai hutan bambu dan belukar yang tidak jauh dari sungai, ular bangkai laut sering didapati berdiam di antara daun-daun dan ranting semak atau pohon kecil sampai dengan 3 m di atas tanah. Tidak jarang pula ditemukan di kebun dan pekarangan di dekat rumah.
Mangsa ular ini terutama adalah kodok, burung dan mamalia kecil; juga kadal. Perburuannya dalam gelap malam amat dibantu oleh indera penghidu bahang (panas) tubuh yang terletak pada dekik pipinya.
Pada siang hari ular ini menjadi lembam, dan tidur bergulung di cabang pohon, semak atau kerimbunan ranting bambu. Sering pula ditemukan ular-ular yang kesiangan dan lalu tidur sekenanya di dekat pemukiman orang, seperti di tumpukan kayu atau di sudut para-para di belakang rumah.
Ular bangkai laut bersifat ovovivipar, yakni telur-telurnya menetas semasa masih di dalam perut dan keluar sebagai anak-anak ular, sehingga seakan-akan melahirkan. Anaknya dapat mencapai lebih dari 25 ekor sekali ‘bersalin’ (David and Vogel, 1997). Anak-anak ular ini turun ke lantai hutan dan vegetasi bawah untuk memburu kodok yang menjadi makanannya.

Bisa dan Akibat Gigitan

Ular bangkai laut termasuk ular yang agresif, mudah merasa terganggu dan lekas menggigit. Ular ini merupakan penyumbang kasus gigitan ular terbanyak, yakni sekitar 50% kasus di Indonesia (Kawamura dkk. 1975, seperti dikutip dalam David and Vogel, 1997). 2,4% di antaranya berakibat fatal.
Menurut pengalaman, ular ini biasanya menggigit para pencari kayu bakar, pencari rumput atau gembala yang tengah berjalan di hutan. Keyakinan orang-orang desa di Dompu, Sumbawa, ular ini menggigit sebab merasa terganggu. Ketika serombongan orang lalu di hutan, orang pertama yang lewat dan secara tak sengaja menyenggol dahan tempat tidur ular tarihu ini biasanya selamat, tak digigit. Ular itu hanya terbangun dan berwaspada. Orang kedua atau ketigalah yang biasanya tergigit.
Seperti umumnya ular bandotan (viper), ular bangkai laut ini memiliki bisa yang berbahaya. Bisa ini disuntikkan ke tubuh korbannya melalui sepasang taring besar melengkung yang beralur di tengahnya. Meski demikian, tidak semua gigitan ular disertai dengan pengeluaran bisa. Gigitan ‘kering’, yang bersifat refleks atau peringatan, biasanya tidak disertai bisa dan karenanya tidak membahayakan. Gigitan ‘kering’ ular ini tidak menimbulkan gejala-gejala keracunan seperti yang diuraikan di bawah.
Bisa ular ini, dan umumnya ular Crotalinae, bersifat hemotoksin, merusak sistem peredaran darah. Gigitan ular ini pada manusia menimbulkan rasa sakit yang hebat, dan kerusakan jaringan di sekitar luka gigitan. Dalam menit-menit pertama setelah gigitan, jaringan akan membengkak dan sebagian akan berwarna merah gelap, pertanda terjadi perdarahan di bawah kulit di sekitar luka. Menyusul terjadi pembengkakan, rasa kaku dan nyeri yang meluas perlahan-lahan ke seluruh bagian anggota yang tergigit. Rasa nyeri terasa terutama pada persendian antara luka dan jantung. Apabila tidak ditangani dengan baik, perdarahan internal dapat menyusul terjadi dalam beberapa jam sampai beberapa hari kemudian, dan bahkan dapat membawa kematian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar