satwa unik
Senin, 31 Januari 2011
Minggu, 30 Januari 2011
Ular Hijau adalah sejenis ular berbisa yang berbahaya. Memiliki nama ilmiah Trimeresurus albolabris, ular ini juga dikenal dengan nama-nama lain seperti oray bungka, oray majapait (Sd.), ula bangka-laut atau ula gadung luwuk (Jw.), tarihu (Dompu), dan lain-lain. Dalam bahasa Inggris disebut dengan nama white-lipped tree viper, white-lipped pit-viper, merujuk pada bibirnya yang berwarna keputih-putihan, atau bamboo pit-viper karena kebiasaannya berada di rumpun bambu.
Pemerian
Ular yang sedang besarnya, agak gemuk pendek dan tak begitu lincah. Kepala jelas menjendol besar, seperti seekor kodok yang ‘tertancap’ di atas leher yang mengecil. Memiliki dekik pipi (loreal pit) yang besar dan menyolok di belakang lubang hidung di depan mata. Sepasang taring besar dan panjang yang bisa dilipat terdapat di bagian depan rahang atas, tertutup oleh selaput lendir mulut.
Panjang ular jantan sekitar 60 cm dan yang betinanya bisa mencapai 80 cm. Berekor kecil pendek, sekitar 10-13 cm, namun kuat ‘memegang’ ranting yang ditempatinya (prehensile tail).
Kepala dan tubuh bagian atas (dorsal) berwarna hijau daun, dengan bibir keputihan atau kekuningan (albolabris; albus, putih dan labrum, bibir). Terdapat warna belang-belang putih dan hitam pada kulit di bawah sisik pada tubuh bagian depan, yang baru nampak bila ular merasa terancam. Sisi bawah tubuh (ventral) kuning terang sampai kuning pucat atau kehijauan; pada hewan jantan dengan garis kuning yang lebih tua (atau lebih nyata) pada batas dengan warna hijau (garis ventrolateral). Sisi atas ekor berwarna kemerahan, seolah-olah terpulas oleh lipstik.
Tak seperti kebanyakan ular, yang sisi atas kepalanya tertutup oleh sisik-sisik berukuran besar (disebut perisai) yang tersusun simetris, sisi atas kepala ular bangkai laut (dan umumnya marga Trimeresurus) ini ditutupi oleh banyak sisik kecil yang terletak tidak beraturan; setidaknya, tak membentuk pola simetris. Melintasi atas kepala di antara kedua matanya, terdapat sekitar 8-12 deret sisik kecil; tidak termasuk sebuah perisai supraokular yang sempit memanjang --kadang-kadang membesar pula-- di atas masing-masing bola matanya. Perisai labial (bibir) atas 10-11 (12) buah; yang paling depan bersatu sebagian atau seluruhnya dengan perisai nasal (hidung).
Sisik-sisik dorsal kasar berlunas, tersusun dalam 21 (jarang 19) deret. Sisik ventral 155-166 buah pada hewan jantan, dan 152-176 pada yang betina. Sisik subkaudal (di bawah ekor) 60-72 pasang pada ular jantan dan 49-66 pasang pada ular betina.
Kebiasan
Ular yang aktif di malam hari (nokturnal) dan tidak begitu lincah. Kerap terlihat menjalar lambat-lambat di antara ranting atau di atas lantai hutan; meskipun apabila terancam dapat pula bergerak dengan cepat dan gesit. Menyukai hutan bambu dan belukar yang tidak jauh dari sungai, ular bangkai laut sering didapati berdiam di antara daun-daun dan ranting semak atau pohon kecil sampai dengan 3 m di atas tanah. Tidak jarang pula ditemukan di kebun dan pekarangan di dekat rumah.
Mangsa ular ini terutama adalah kodok, burung dan mamalia kecil; juga kadal. Perburuannya dalam gelap malam amat dibantu oleh indera penghidu bahang (panas) tubuh yang terletak pada dekik pipinya.
Pada siang hari ular ini menjadi lembam, dan tidur bergulung di cabang pohon, semak atau kerimbunan ranting bambu. Sering pula ditemukan ular-ular yang kesiangan dan lalu tidur sekenanya di dekat pemukiman orang, seperti di tumpukan kayu atau di sudut para-para di belakang rumah.
Ular bangkai laut bersifat ovovivipar, yakni telur-telurnya menetas semasa masih di dalam perut dan keluar sebagai anak-anak ular, sehingga seakan-akan melahirkan. Anaknya dapat mencapai lebih dari 25 ekor sekali ‘bersalin’ (David and Vogel, 1997). Anak-anak ular ini turun ke lantai hutan dan vegetasi bawah untuk memburu kodok yang menjadi makanannya.
Bisa dan Akibat Gigitan
Ular bangkai laut termasuk ular yang agresif, mudah merasa terganggu dan lekas menggigit. Ular ini merupakan penyumbang kasus gigitan ular terbanyak, yakni sekitar 50% kasus di Indonesia (Kawamura dkk. 1975, seperti dikutip dalam David and Vogel, 1997). 2,4% di antaranya berakibat fatal.
Menurut pengalaman, ular ini biasanya menggigit para pencari kayu bakar, pencari rumput atau gembala yang tengah berjalan di hutan. Keyakinan orang-orang desa di Dompu, Sumbawa, ular ini menggigit sebab merasa terganggu. Ketika serombongan orang lalu di hutan, orang pertama yang lewat dan secara tak sengaja menyenggol dahan tempat tidur ular tarihu ini biasanya selamat, tak digigit. Ular itu hanya terbangun dan berwaspada. Orang kedua atau ketigalah yang biasanya tergigit.
Seperti umumnya ular bandotan (viper), ular bangkai laut ini memiliki bisa yang berbahaya. Bisa ini disuntikkan ke tubuh korbannya melalui sepasang taring besar melengkung yang beralur di tengahnya. Meski demikian, tidak semua gigitan ular disertai dengan pengeluaran bisa. Gigitan ‘kering’, yang bersifat refleks atau peringatan, biasanya tidak disertai bisa dan karenanya tidak membahayakan. Gigitan ‘kering’ ular ini tidak menimbulkan gejala-gejala keracunan seperti yang diuraikan di bawah.
Bisa ular ini, dan umumnya ular Crotalinae, bersifat hemotoksin, merusak sistem peredaran darah. Gigitan ular ini pada manusia menimbulkan rasa sakit yang hebat, dan kerusakan jaringan di sekitar luka gigitan. Dalam menit-menit pertama setelah gigitan, jaringan akan membengkak dan sebagian akan berwarna merah gelap, pertanda terjadi perdarahan di bawah kulit di sekitar luka. Menyusul terjadi pembengkakan, rasa kaku dan nyeri yang meluas perlahan-lahan ke seluruh bagian anggota yang tergigit. Rasa nyeri terasa terutama pada persendian antara luka dan jantung. Apabila tidak ditangani dengan baik, perdarahan internal dapat menyusul terjadi dalam beberapa jam sampai beberapa hari kemudian, dan bahkan dapat membawa kematian.
Pemerian
Ular yang sedang besarnya, agak gemuk pendek dan tak begitu lincah. Kepala jelas menjendol besar, seperti seekor kodok yang ‘tertancap’ di atas leher yang mengecil. Memiliki dekik pipi (loreal pit) yang besar dan menyolok di belakang lubang hidung di depan mata. Sepasang taring besar dan panjang yang bisa dilipat terdapat di bagian depan rahang atas, tertutup oleh selaput lendir mulut.
Panjang ular jantan sekitar 60 cm dan yang betinanya bisa mencapai 80 cm. Berekor kecil pendek, sekitar 10-13 cm, namun kuat ‘memegang’ ranting yang ditempatinya (prehensile tail).
Kepala dan tubuh bagian atas (dorsal) berwarna hijau daun, dengan bibir keputihan atau kekuningan (albolabris; albus, putih dan labrum, bibir). Terdapat warna belang-belang putih dan hitam pada kulit di bawah sisik pada tubuh bagian depan, yang baru nampak bila ular merasa terancam. Sisi bawah tubuh (ventral) kuning terang sampai kuning pucat atau kehijauan; pada hewan jantan dengan garis kuning yang lebih tua (atau lebih nyata) pada batas dengan warna hijau (garis ventrolateral). Sisi atas ekor berwarna kemerahan, seolah-olah terpulas oleh lipstik.
Tak seperti kebanyakan ular, yang sisi atas kepalanya tertutup oleh sisik-sisik berukuran besar (disebut perisai) yang tersusun simetris, sisi atas kepala ular bangkai laut (dan umumnya marga Trimeresurus) ini ditutupi oleh banyak sisik kecil yang terletak tidak beraturan; setidaknya, tak membentuk pola simetris. Melintasi atas kepala di antara kedua matanya, terdapat sekitar 8-12 deret sisik kecil; tidak termasuk sebuah perisai supraokular yang sempit memanjang --kadang-kadang membesar pula-- di atas masing-masing bola matanya. Perisai labial (bibir) atas 10-11 (12) buah; yang paling depan bersatu sebagian atau seluruhnya dengan perisai nasal (hidung).
Sisik-sisik dorsal kasar berlunas, tersusun dalam 21 (jarang 19) deret. Sisik ventral 155-166 buah pada hewan jantan, dan 152-176 pada yang betina. Sisik subkaudal (di bawah ekor) 60-72 pasang pada ular jantan dan 49-66 pasang pada ular betina.
Kebiasan
Ular yang aktif di malam hari (nokturnal) dan tidak begitu lincah. Kerap terlihat menjalar lambat-lambat di antara ranting atau di atas lantai hutan; meskipun apabila terancam dapat pula bergerak dengan cepat dan gesit. Menyukai hutan bambu dan belukar yang tidak jauh dari sungai, ular bangkai laut sering didapati berdiam di antara daun-daun dan ranting semak atau pohon kecil sampai dengan 3 m di atas tanah. Tidak jarang pula ditemukan di kebun dan pekarangan di dekat rumah.
Mangsa ular ini terutama adalah kodok, burung dan mamalia kecil; juga kadal. Perburuannya dalam gelap malam amat dibantu oleh indera penghidu bahang (panas) tubuh yang terletak pada dekik pipinya.
Pada siang hari ular ini menjadi lembam, dan tidur bergulung di cabang pohon, semak atau kerimbunan ranting bambu. Sering pula ditemukan ular-ular yang kesiangan dan lalu tidur sekenanya di dekat pemukiman orang, seperti di tumpukan kayu atau di sudut para-para di belakang rumah.
Ular bangkai laut bersifat ovovivipar, yakni telur-telurnya menetas semasa masih di dalam perut dan keluar sebagai anak-anak ular, sehingga seakan-akan melahirkan. Anaknya dapat mencapai lebih dari 25 ekor sekali ‘bersalin’ (David and Vogel, 1997). Anak-anak ular ini turun ke lantai hutan dan vegetasi bawah untuk memburu kodok yang menjadi makanannya.
Bisa dan Akibat Gigitan
Ular bangkai laut termasuk ular yang agresif, mudah merasa terganggu dan lekas menggigit. Ular ini merupakan penyumbang kasus gigitan ular terbanyak, yakni sekitar 50% kasus di Indonesia (Kawamura dkk. 1975, seperti dikutip dalam David and Vogel, 1997). 2,4% di antaranya berakibat fatal.
Menurut pengalaman, ular ini biasanya menggigit para pencari kayu bakar, pencari rumput atau gembala yang tengah berjalan di hutan. Keyakinan orang-orang desa di Dompu, Sumbawa, ular ini menggigit sebab merasa terganggu. Ketika serombongan orang lalu di hutan, orang pertama yang lewat dan secara tak sengaja menyenggol dahan tempat tidur ular tarihu ini biasanya selamat, tak digigit. Ular itu hanya terbangun dan berwaspada. Orang kedua atau ketigalah yang biasanya tergigit.
Seperti umumnya ular bandotan (viper), ular bangkai laut ini memiliki bisa yang berbahaya. Bisa ini disuntikkan ke tubuh korbannya melalui sepasang taring besar melengkung yang beralur di tengahnya. Meski demikian, tidak semua gigitan ular disertai dengan pengeluaran bisa. Gigitan ‘kering’, yang bersifat refleks atau peringatan, biasanya tidak disertai bisa dan karenanya tidak membahayakan. Gigitan ‘kering’ ular ini tidak menimbulkan gejala-gejala keracunan seperti yang diuraikan di bawah.
Bisa ular ini, dan umumnya ular Crotalinae, bersifat hemotoksin, merusak sistem peredaran darah. Gigitan ular ini pada manusia menimbulkan rasa sakit yang hebat, dan kerusakan jaringan di sekitar luka gigitan. Dalam menit-menit pertama setelah gigitan, jaringan akan membengkak dan sebagian akan berwarna merah gelap, pertanda terjadi perdarahan di bawah kulit di sekitar luka. Menyusul terjadi pembengkakan, rasa kaku dan nyeri yang meluas perlahan-lahan ke seluruh bagian anggota yang tergigit. Rasa nyeri terasa terutama pada persendian antara luka dan jantung. Apabila tidak ditangani dengan baik, perdarahan internal dapat menyusul terjadi dalam beberapa jam sampai beberapa hari kemudian, dan bahkan dapat membawa kematian.
Ular Cobra
Ular sendok atau yang juga dikenal dengan nama kobra adalah sejenis ular berbisa dari suku Elapidae. Disebut ular sendok (Jw., ula irus) karena ular ini dapat menegakkan dan memipihkan lehernya apabila merasa terganggu oleh musuhnya. Leher yang memipih dan melengkung itu serupa bentuk sendok atau irus (sendok sayur).
Istilah kobra dalam bahasa Indonesia diambil dari bahasa Inggris, cobra, yang sebetulnya juga merupakan pinjaman dari bahasa Portugis. Dalam bahasa terakhir itu, cobra merupakan sebutan umum bagi ular, yang diturunkan dari bahasa Latin colobra (coluber, colubra), yang juga berarti ular. Ketika para pelaut Portugis di abad ke-16 tiba di Afrika dan Asia Selatan, mereka menamai ular sendok yang mereka dapati di sana dengan istilah cobra-capelo, ular bertudung. Dari nama inilah berkembang sebutan-sebutan yang mirip dalam bahasa-bahasa Spanyol, Prancis, Inggris dan lain-lain bahasa Eropa.
Ular sendok dalam bahasa Indonesia merujuk pada beberapa jenis ular dari marga Naja. Sedangkan ular king-cobra (Ophiophagus hannah) biasanya disebut dengan istilah ular anang atau ular tedung.
Ragam dan Jenisnya
Kobra biasanya berhabitat daerah tropis dan gurun di Asia dan Afrika. Beberapa jenis kobra dapat mencapai panjang 1,2–2,5 meter. King-cobra bahkan dapat tumbuh sampai dengan 5,6 m, dan merupakan jenis ular berbisa terbesar di dunia.
Asia memiliki banyak jenis kobra, sekurang-kurangnya dua jenis kobra sejati didapati di Indonesia. Jenis-jenis itu di antaranya:
1. Kobra india (Naja naja),
12. Kobra mesir (Naja haje)
14. Naja annulifera
15. Naja nigricollis, kobra penyembur dari Afrika.
16. Naja mossambica, kobra Mozambik
17. Naja nivea
dan lain-lain.
Warna Yang Mengacaukan
Berbagai jenis kobra dapat memiliki warna dari hitam atau coklat tua sampai putih-kuning. Pada masa lalu, warna tubuh dan kemampuan menyemburkan bisa –melalui kombinasi dengan beberapa ciri lainnya– digunakan sebagai dasar untuk membedakan jenis-jenis kobra. Akan tetapi kini diketahui bahwa variasi warna dalam satu jenis (spesies) kobra begitu beragam, sehingga mustahil digunakan sebagai patokan pengenalan jenis. Sebagai teladan, ular sendok Jawa diketahui berwarna hitam kelam di Jawa bagian barat namun kecoklatan hingga kekuningan di Jawa timur dan Nusa Tenggara.
Yang lebih merumitkan ialah beberapa kobra yang berbeda spesiesnya dapat memiliki warna atau pola warna yang bermiripan. Di Thailand umpamanya, yang memiliki beberapa jenis kobra, peneliti harus lebih berhati-hati untuk menetapkan identitas ular yang ditemuinya. Karena perbedaan spesies ini akan bersifat menentukan bagi hasil risetnya kelak. Perbedaan spesies ini juga berarti perbedaan karakter bisa (racun), yang penting untuk diketahui apabila menangani korban gigitan ular.
Biasa Ular Cobra
isa atau racun ular sendok merupakan salah satu yang terkuat dari jenisnya, dan mampu membunuh manusia. Ular sendok melumpuhkan mangsanya dengan menggigit dan menyuntikkan bisa neurotoxin pada hewan tangkapannya (biasanya binatang mengerat atau burung kecil) melalui taringnya. Bisa tersebut kemudian melumpuhkan syaraf-syaraf dan otot-otot si korban (mangsa) dalam waktu yang hanya beberapa menit saja.
Selain itu, ular sendok dapat melumpuhkan korbannya dengan menyemprotkan bisa ke matanya; namun tidak semua kobra dapat melakukan hal ini.
Kobra hanya menyerang manusia bila diserang terlebih dahulu atau merasa terancam. Selain itu, kadang mereka juga hanya menggigit tanpa menyuntikkan bisa (gigitan ‘kosong’ atau gigitan ‘kering’). Maka tidak semua gigitan kobra pada manusia berakhir dengan kematian, bahkan cukup banyak persentase gigitan yang tidak menimbulkan gejala keracunan pada manusia.
Meski demikian, orang harus tetap berwaspada apabila tergigit ular ini, namun jangan panik. Yang terbaik, perlakukan luka gigitan dengan hati-hati tanpa membuat luka-luka baru di sekitarnya (misalnya untuk mencoba mengeluarkan racun). Jika mungkin, balutlah dengan cukup kuat (balut dengan tekanan) bagian anggota tubuh antara luka dengan jantung, untuk memperlambat –namun tidak menghentikan– aliran darah ke jantung. Usahakan korban tidak banyak bergerak, terutama pada anggota tubuh yang tergigit, agar peredaran darah tidak bertambah cepat. Kemudian bawalah si korban sesegera mungkin ke rumah sakit untuk memperoleh antibisa (biasanya di Indonesia disebut SABU, serum anti bisa ular) dan perawatan yang semestinya.
Semburan bisa ular sendok, apabila mengenai mata, dapat mengakibatkan iritasi menengah dan menimbulkan rasa pedih yang hebat. Mencucinya bersih-bersih dengan air yang mengalir sesegera mungkin dapat membilas dan menghanyutkan bisa itu, mengurangi iritasi dan mencegah kerusakan yang lebih lanjut pada mata.
Gejala Keracunan
Penting untuk diingat sekali lagi, bahwa gigitan ular sendok pada manusia tidak semuanya berakhir dengan kematian. Pada kebanyakan kasus gigitan, ular menggigit untuk memperingatkan atau mengusir manusia. Sehingga hanya sedikit atau tidak ada racun yang disuntikkan. Jika pun racun masuk dalam jumlah yang cukup, apabila korban ditangani dengan baik, umumnya belum membawa kematian sampai beberapa jam kemudian. Jadi, kematian tidak datang seketika atau dalam beberapa menit saja. Tidak perlu panik.
Bisa kobra, seperti umumnya Elapidae, terutama bersifat neurotoksin. Yakni mempengaruhi dan melumpuhkan kerja jaringan syaraf. Si korban perlahan-lahan akan merasa mengantuk (pelupuk mata memberat), kesulitan bernafas, hingga detak dan irama jantung terganggu dalam beberapa jam kemudian.
Akan tetapi tak serupa dengan akibat gigitan ular Elapidae lainnya, bisa ular sendok Jawa dan Sumatra dapat merusak jaringan di sekitar luka gigitan. Jadi, juga bersifat hemotoksin. Lebam berdarah di bawah kulit dapat terjadi, dan rasa sakit yang amat sangat muncul (namun tidak selalu) dalam menit-menit pertama setelah tergigit. Sekitar luka akan membengkak, dan bersama dengan menjalarnya pembengkakan, rasa sakit juga turut menjalar terutama di sekitar persendian. Lebam lama-lama akan menghitam dan menjadi nekrosis. Dalam pada itu, kemampuan pembekuan darah pun turut menurun.
Tanpa gejala-gejala di atas, kemungkinan tidak ada racun yang masuk ke tubuh, atau terlalu sedikit untuk meracuni tubuh orang. Namun juga perlu diingat, bahwa umumnya gigitan ular –berbisa atau pun tidak– hampir pasti menumbuhkan ketakutan atau kekhawatiran pada manusia. Telah demikian tertancam dalam jiwa kita manusia, anggapan yang tidak tepat, bahwa (setiap) ular itu berbisa dan (setiap) gigitan ular akan mengakibatkan kematian.
Pada kondisi yang yang berlebihan, rasa takut ini dapat mengakibatkan syok (shock) pada si korban dengan gejala-gejala yang mirip. Korban akan merasa lemah, berkeringat dingin, detak jantung melemah, pernafasan bertambah cepat dan kesadarannya menurun. Bila terjadi, syok ini penting untuk ditangani karena dapat membahayakan jiwa pula. Akan tetapi ini bukanlah gejala keracunan, sehingga sangat penting untuk mengamati perkembangan gejala pada korban gigitan untuk menentukan tindakan penanganan yang tepat.
Istilah kobra dalam bahasa Indonesia diambil dari bahasa Inggris, cobra, yang sebetulnya juga merupakan pinjaman dari bahasa Portugis. Dalam bahasa terakhir itu, cobra merupakan sebutan umum bagi ular, yang diturunkan dari bahasa Latin colobra (coluber, colubra), yang juga berarti ular. Ketika para pelaut Portugis di abad ke-16 tiba di Afrika dan Asia Selatan, mereka menamai ular sendok yang mereka dapati di sana dengan istilah cobra-capelo, ular bertudung. Dari nama inilah berkembang sebutan-sebutan yang mirip dalam bahasa-bahasa Spanyol, Prancis, Inggris dan lain-lain bahasa Eropa.
Ular sendok dalam bahasa Indonesia merujuk pada beberapa jenis ular dari marga Naja. Sedangkan ular king-cobra (Ophiophagus hannah) biasanya disebut dengan istilah ular anang atau ular tedung.
Ragam dan Jenisnya
Kobra biasanya berhabitat daerah tropis dan gurun di Asia dan Afrika. Beberapa jenis kobra dapat mencapai panjang 1,2–2,5 meter. King-cobra bahkan dapat tumbuh sampai dengan 5,6 m, dan merupakan jenis ular berbisa terbesar di dunia.
Asia memiliki banyak jenis kobra, sekurang-kurangnya dua jenis kobra sejati didapati di Indonesia. Jenis-jenis itu di antaranya:
1. Kobra india (Naja naja),
-
- berwarna abu-abu kehitaman, kobra ini mempunyai pola gambar kacamata di belakang tudungnya. Menyebar di India, Pakistan, Nepal, Bangladesh dan Sri Lanka.
-
- menyebar mulai dari Turkmenistan, Uzbekistan, Tajikistan, Iran, Afganistan, Pakistan, hingga ke India utara.
-
- menyebar terbatas di sekitar kota Mandalay. Mampu menyemburkan bisa (spitting cobra).
-
- menyebar terbatas di Kep. Andaman
-
- menyebar di Tiongkok selatan, bagian utara Vietnam, dan Laos.
-
- menyebar di Thailand, Kamboja, sebagian Laos, dan Vietnam bagian selatan. Kerap menyemburkan bisa.
-
- menyebar di bagian utara dan barat Filipina, di pulau-pulau Luzon, Mindoro, Marinduque, Masbate, dan mungkin pula di Calamian dan Palawan.
12. Kobra mesir (Naja haje)
14. Naja annulifera
15. Naja nigricollis, kobra penyembur dari Afrika.
16. Naja mossambica, kobra Mozambik
17. Naja nivea
dan lain-lain.
Warna Yang Mengacaukan
Berbagai jenis kobra dapat memiliki warna dari hitam atau coklat tua sampai putih-kuning. Pada masa lalu, warna tubuh dan kemampuan menyemburkan bisa –melalui kombinasi dengan beberapa ciri lainnya– digunakan sebagai dasar untuk membedakan jenis-jenis kobra. Akan tetapi kini diketahui bahwa variasi warna dalam satu jenis (spesies) kobra begitu beragam, sehingga mustahil digunakan sebagai patokan pengenalan jenis. Sebagai teladan, ular sendok Jawa diketahui berwarna hitam kelam di Jawa bagian barat namun kecoklatan hingga kekuningan di Jawa timur dan Nusa Tenggara.
Yang lebih merumitkan ialah beberapa kobra yang berbeda spesiesnya dapat memiliki warna atau pola warna yang bermiripan. Di Thailand umpamanya, yang memiliki beberapa jenis kobra, peneliti harus lebih berhati-hati untuk menetapkan identitas ular yang ditemuinya. Karena perbedaan spesies ini akan bersifat menentukan bagi hasil risetnya kelak. Perbedaan spesies ini juga berarti perbedaan karakter bisa (racun), yang penting untuk diketahui apabila menangani korban gigitan ular.
Biasa Ular Cobra
isa atau racun ular sendok merupakan salah satu yang terkuat dari jenisnya, dan mampu membunuh manusia. Ular sendok melumpuhkan mangsanya dengan menggigit dan menyuntikkan bisa neurotoxin pada hewan tangkapannya (biasanya binatang mengerat atau burung kecil) melalui taringnya. Bisa tersebut kemudian melumpuhkan syaraf-syaraf dan otot-otot si korban (mangsa) dalam waktu yang hanya beberapa menit saja.
Selain itu, ular sendok dapat melumpuhkan korbannya dengan menyemprotkan bisa ke matanya; namun tidak semua kobra dapat melakukan hal ini.
Kobra hanya menyerang manusia bila diserang terlebih dahulu atau merasa terancam. Selain itu, kadang mereka juga hanya menggigit tanpa menyuntikkan bisa (gigitan ‘kosong’ atau gigitan ‘kering’). Maka tidak semua gigitan kobra pada manusia berakhir dengan kematian, bahkan cukup banyak persentase gigitan yang tidak menimbulkan gejala keracunan pada manusia.
Meski demikian, orang harus tetap berwaspada apabila tergigit ular ini, namun jangan panik. Yang terbaik, perlakukan luka gigitan dengan hati-hati tanpa membuat luka-luka baru di sekitarnya (misalnya untuk mencoba mengeluarkan racun). Jika mungkin, balutlah dengan cukup kuat (balut dengan tekanan) bagian anggota tubuh antara luka dengan jantung, untuk memperlambat –namun tidak menghentikan– aliran darah ke jantung. Usahakan korban tidak banyak bergerak, terutama pada anggota tubuh yang tergigit, agar peredaran darah tidak bertambah cepat. Kemudian bawalah si korban sesegera mungkin ke rumah sakit untuk memperoleh antibisa (biasanya di Indonesia disebut SABU, serum anti bisa ular) dan perawatan yang semestinya.
Semburan bisa ular sendok, apabila mengenai mata, dapat mengakibatkan iritasi menengah dan menimbulkan rasa pedih yang hebat. Mencucinya bersih-bersih dengan air yang mengalir sesegera mungkin dapat membilas dan menghanyutkan bisa itu, mengurangi iritasi dan mencegah kerusakan yang lebih lanjut pada mata.
Gejala Keracunan
Penting untuk diingat sekali lagi, bahwa gigitan ular sendok pada manusia tidak semuanya berakhir dengan kematian. Pada kebanyakan kasus gigitan, ular menggigit untuk memperingatkan atau mengusir manusia. Sehingga hanya sedikit atau tidak ada racun yang disuntikkan. Jika pun racun masuk dalam jumlah yang cukup, apabila korban ditangani dengan baik, umumnya belum membawa kematian sampai beberapa jam kemudian. Jadi, kematian tidak datang seketika atau dalam beberapa menit saja. Tidak perlu panik.
Bisa kobra, seperti umumnya Elapidae, terutama bersifat neurotoksin. Yakni mempengaruhi dan melumpuhkan kerja jaringan syaraf. Si korban perlahan-lahan akan merasa mengantuk (pelupuk mata memberat), kesulitan bernafas, hingga detak dan irama jantung terganggu dalam beberapa jam kemudian.
Akan tetapi tak serupa dengan akibat gigitan ular Elapidae lainnya, bisa ular sendok Jawa dan Sumatra dapat merusak jaringan di sekitar luka gigitan. Jadi, juga bersifat hemotoksin. Lebam berdarah di bawah kulit dapat terjadi, dan rasa sakit yang amat sangat muncul (namun tidak selalu) dalam menit-menit pertama setelah tergigit. Sekitar luka akan membengkak, dan bersama dengan menjalarnya pembengkakan, rasa sakit juga turut menjalar terutama di sekitar persendian. Lebam lama-lama akan menghitam dan menjadi nekrosis. Dalam pada itu, kemampuan pembekuan darah pun turut menurun.
Tanpa gejala-gejala di atas, kemungkinan tidak ada racun yang masuk ke tubuh, atau terlalu sedikit untuk meracuni tubuh orang. Namun juga perlu diingat, bahwa umumnya gigitan ular –berbisa atau pun tidak– hampir pasti menumbuhkan ketakutan atau kekhawatiran pada manusia. Telah demikian tertancam dalam jiwa kita manusia, anggapan yang tidak tepat, bahwa (setiap) ular itu berbisa dan (setiap) gigitan ular akan mengakibatkan kematian.
Pada kondisi yang yang berlebihan, rasa takut ini dapat mengakibatkan syok (shock) pada si korban dengan gejala-gejala yang mirip. Korban akan merasa lemah, berkeringat dingin, detak jantung melemah, pernafasan bertambah cepat dan kesadarannya menurun. Bila terjadi, syok ini penting untuk ditangani karena dapat membahayakan jiwa pula. Akan tetapi ini bukanlah gejala keracunan, sehingga sangat penting untuk mengamati perkembangan gejala pada korban gigitan untuk menentukan tindakan penanganan yang tepat.
gold snake ring
Welang (Bungarus fasciatus) adalah nama sejenis ular berbisa anggota suku Elapidae. Umum biasa menyebutnya sebagai ular belang (Ind.) atau oray belang (Sd.), nama yang sedikit banyak menyesatkan karena digunakan pula untuk menyebut ular lain yang serupa dan berkerabat dekat: ular weling (Bungarus candidus).
Kedua ular ini memang mirip bentuk dan warnanya. Nama welang dan weling (dari bahasa Jawa) menunjuk kepada pola belang hitam-putih (atau hitam-kuning) yang berlainan. Pada ular welang, belang hitamnya utuh berupa cincin dari punggung hingga ke perut; sedangkan pada ular weling belang hitamnya hanya sekedar selang-seling warna di bagian punggung (dorsal), sementara perutnya (ventral) seluruhnya berwarna putih.
Dalam bahasa Inggris, ular welang dikenal sebagai Banded Krait. Sementara nama ilmiahnya, Bungarus fasciatus, berasal dari kata dalam bahasa Telugu (India) bungarum yang berarti ‘emas’, merujuk pada belang warna kuning di tubuhnya dan kata bahasa Latin fasciata yang berarti ‘berbelang’ (fascia, belang atau pita).
Ular yang berukuran sedang, dengan panjang maksimum yang tercatat 2125 mm; akan tetapi umumnya ular dewasa hanya sekitar 1,5 m atau kurang. Sekitar sepersepuluh dari panjang itu adalah ekornya, yang berujung tumpul buntek.[3] Bentuk badan menyegitiga, dengan punggung yang membentuk sudut di atas. Berwarna menyolok, belang-belang hitam kuning (atau hitam putih), kurang lebih sama lebar antara kedua warna itu. Warna hitamnya terus bersambung hingga ke sisi perutnya (lihat gambar no. 6 di bawah), kecuali pada sepertiga bagian muka tubuhnya. Kepala lebar dan gepeng dengan pola di atasnya seperti anak panah berwarna hitam (gambar no.2), dan bibir yang berwarna kekuningan atau keputihan kusam.[4][2]
Sisik-sisik dorsal (punggung) dalam 15 deret di tengah badan, sisik-sisik vertebral (di atas tulang punggung) membesar dan berbeda bentuknya dari sisik-sisik dorsal yang lain, membentuk semacam gigir di atas punggung (gambar no 5). Sisik-sisik ventral (perut) 200—234 buah, sisik anal tunggal, dan sisik-sisik subkaudal (bawah ekor) 23—39 buah, tak berpasangan. Sisik-sisik labial (bibir) atas 7 buah, no-3 dan -4 menyentuh mata.
Ular weling (Bungarus candidus) memiliki bentuk tubuh dan warna yang mirip ular welang, namun umumnya lebih kecil dan tidak memiliki varian warna hitam-kuning. Belang hitamnya hanya di sisi atas dan samping tubuh (dorsal, punggung), dan warna putihnya ternoda oleh bintik-bintik hitam. Ekornya kurus panjang dan meruncing.
Ular serigala Lycodon subcinctus yang muda memiliki bentuk dan warna serupa ular weling, hanya belang hitamnya lebih lebar daripada putihnya.
Ular cincin mas (Boiga dendrophila) berwarna hitam berbelang kuning, akan tetapi warna kuningnya jauh lebih sempit dan perutnya berwarna hitam seluruhnya.
Beberapa jenis ular laut berwarna belang putih-hitam atau putih-kehitaman dan kadang-kadang ditemukan naik ke pantai, namun semua ular laut mudah dibedakan dari ular darat karena bentuk ekornya yang pipih serupa dayung.
Penyebaran, habitat dan prilaku
Ular welang diketahui menyebar luas mulai dari India, Bhutan, Nepal, Bangladesh, Cina bagian selatan (termasuk Hong Kong, Hainan, dan Makao), Burma, Thailand, Laos, Vietnam, Kamboja, Semenanjung Malaya, Singapura, dan Indonesia (Sumatra, Jawa, Borneo).[5]
Sebaran ular ini meliputi wilayah-wilayah dekat pantai hingga daerah bergunung-gunung sekurangnya sampai ketinggian sekitar 2.300 m dpl., namun umumnya lebih kerap dijumpai di dataran rendah. Ular welang menghuni wilayah-wilayah perbatasan antara hutan-hutan dataran rendah yang lembab dengan yang lebih kering, hutan-hutan pegunungan, semak belukar, rawa-rawa, daerah pertanian, perkebunan dan persawahan. Tidak jarang pula dijumpai dekat permukiman, jalan raya atau sungai.[6]
Mangsanya terutama adalah jenis-jenis ular lainnya, meskipun ular ini mau juga memakan aneka jenis reptil, kodok, serta kadang-kadang ikan, dan telur. Ular welang terutama aktif berburu di malam hari (nokturnal) di atas tanah (terestrial), dan pada siang hari bersembunyi di bawah tumpukan kayu atau batu.[6] Di India, ular ini diketahui tidur di rerumputan tinggi, lubang-lubang dan juga di saluran air. Di antaranya, ular welang juga memangsa ular jali (Ptyas korros).[1]
Hanya sedikit yang diketahui mengenai perbiakannya. Di Burma, dalam suatu penggalian, seekor ular welang betina ditemukan tengah ‘mengerami’ empat butir telurnya, yang kemudian menetas di bulan Mei. Anaknya yang baru menetas berukuran antara 298—311 mm.[7]
Dilaporkan bahwa ular ini umumnya jinak dan tak mau menggigit orang di siang hari, namun agresif di malam hari. Bila diganggu, biasanya ular ini akan menyembunyikan kepalanya di bawah tumpukan tubuhnya yang bergelung.[4][2] Akan tetapi hal ini tak dapat dijadikan pegangan mengingat sifat-sifat ular yang amat bervariasi dari individu ke individu dan sukar untuk diramalkan. Ular welang dikategorikan amat berbahaya karena bisanya yang bersifat mematikan, meskipun laporan kematian pada manusia akibat gigitan ular ini termasuk rendah.[6][1]
Mengingat reputasinya, nama ular ini diabadikan sebagai salah satu kapal perang TNI-AL, yakni KRI Welang.
Kedua ular ini memang mirip bentuk dan warnanya. Nama welang dan weling (dari bahasa Jawa) menunjuk kepada pola belang hitam-putih (atau hitam-kuning) yang berlainan. Pada ular welang, belang hitamnya utuh berupa cincin dari punggung hingga ke perut; sedangkan pada ular weling belang hitamnya hanya sekedar selang-seling warna di bagian punggung (dorsal), sementara perutnya (ventral) seluruhnya berwarna putih.
Dalam bahasa Inggris, ular welang dikenal sebagai Banded Krait. Sementara nama ilmiahnya, Bungarus fasciatus, berasal dari kata dalam bahasa Telugu (India) bungarum yang berarti ‘emas’, merujuk pada belang warna kuning di tubuhnya dan kata bahasa Latin fasciata yang berarti ‘berbelang’ (fascia, belang atau pita).
Ular yang berukuran sedang, dengan panjang maksimum yang tercatat 2125 mm; akan tetapi umumnya ular dewasa hanya sekitar 1,5 m atau kurang. Sekitar sepersepuluh dari panjang itu adalah ekornya, yang berujung tumpul buntek.[3] Bentuk badan menyegitiga, dengan punggung yang membentuk sudut di atas. Berwarna menyolok, belang-belang hitam kuning (atau hitam putih), kurang lebih sama lebar antara kedua warna itu. Warna hitamnya terus bersambung hingga ke sisi perutnya (lihat gambar no. 6 di bawah), kecuali pada sepertiga bagian muka tubuhnya. Kepala lebar dan gepeng dengan pola di atasnya seperti anak panah berwarna hitam (gambar no.2), dan bibir yang berwarna kekuningan atau keputihan kusam.[4][2]
Sisik-sisik dorsal (punggung) dalam 15 deret di tengah badan, sisik-sisik vertebral (di atas tulang punggung) membesar dan berbeda bentuknya dari sisik-sisik dorsal yang lain, membentuk semacam gigir di atas punggung (gambar no 5). Sisik-sisik ventral (perut) 200—234 buah, sisik anal tunggal, dan sisik-sisik subkaudal (bawah ekor) 23—39 buah, tak berpasangan. Sisik-sisik labial (bibir) atas 7 buah, no-3 dan -4 menyentuh mata.
Ular weling (Bungarus candidus) memiliki bentuk tubuh dan warna yang mirip ular welang, namun umumnya lebih kecil dan tidak memiliki varian warna hitam-kuning. Belang hitamnya hanya di sisi atas dan samping tubuh (dorsal, punggung), dan warna putihnya ternoda oleh bintik-bintik hitam. Ekornya kurus panjang dan meruncing.
Ular serigala Lycodon subcinctus yang muda memiliki bentuk dan warna serupa ular weling, hanya belang hitamnya lebih lebar daripada putihnya.
Ular cincin mas (Boiga dendrophila) berwarna hitam berbelang kuning, akan tetapi warna kuningnya jauh lebih sempit dan perutnya berwarna hitam seluruhnya.
Beberapa jenis ular laut berwarna belang putih-hitam atau putih-kehitaman dan kadang-kadang ditemukan naik ke pantai, namun semua ular laut mudah dibedakan dari ular darat karena bentuk ekornya yang pipih serupa dayung.
Penyebaran, habitat dan prilaku
Ular welang diketahui menyebar luas mulai dari India, Bhutan, Nepal, Bangladesh, Cina bagian selatan (termasuk Hong Kong, Hainan, dan Makao), Burma, Thailand, Laos, Vietnam, Kamboja, Semenanjung Malaya, Singapura, dan Indonesia (Sumatra, Jawa, Borneo).[5]
Sebaran ular ini meliputi wilayah-wilayah dekat pantai hingga daerah bergunung-gunung sekurangnya sampai ketinggian sekitar 2.300 m dpl., namun umumnya lebih kerap dijumpai di dataran rendah. Ular welang menghuni wilayah-wilayah perbatasan antara hutan-hutan dataran rendah yang lembab dengan yang lebih kering, hutan-hutan pegunungan, semak belukar, rawa-rawa, daerah pertanian, perkebunan dan persawahan. Tidak jarang pula dijumpai dekat permukiman, jalan raya atau sungai.[6]
Mangsanya terutama adalah jenis-jenis ular lainnya, meskipun ular ini mau juga memakan aneka jenis reptil, kodok, serta kadang-kadang ikan, dan telur. Ular welang terutama aktif berburu di malam hari (nokturnal) di atas tanah (terestrial), dan pada siang hari bersembunyi di bawah tumpukan kayu atau batu.[6] Di India, ular ini diketahui tidur di rerumputan tinggi, lubang-lubang dan juga di saluran air. Di antaranya, ular welang juga memangsa ular jali (Ptyas korros).[1]
Hanya sedikit yang diketahui mengenai perbiakannya. Di Burma, dalam suatu penggalian, seekor ular welang betina ditemukan tengah ‘mengerami’ empat butir telurnya, yang kemudian menetas di bulan Mei. Anaknya yang baru menetas berukuran antara 298—311 mm.[7]
Dilaporkan bahwa ular ini umumnya jinak dan tak mau menggigit orang di siang hari, namun agresif di malam hari. Bila diganggu, biasanya ular ini akan menyembunyikan kepalanya di bawah tumpukan tubuhnya yang bergelung.[4][2] Akan tetapi hal ini tak dapat dijadikan pegangan mengingat sifat-sifat ular yang amat bervariasi dari individu ke individu dan sukar untuk diramalkan. Ular welang dikategorikan amat berbahaya karena bisanya yang bersifat mematikan, meskipun laporan kematian pada manusia akibat gigitan ular ini termasuk rendah.[6][1]
Mengingat reputasinya, nama ular ini diabadikan sebagai salah satu kapal perang TNI-AL, yakni KRI Welang.
Ular Molurus
Ular sanca bodo atau Python molurus, termasuk salah satu jenis ular yang banyak dipelihara oleh pencinta binatang. Namun tidak sedikit yang menyadari bahwa ular sanca bodo yang biasa disebut juga sebagai Asiatic Rock Python termasuk salah satu binatang langka yang dilindungi undang-undang di Indonesia. Ular sanca bodo (Python molurus) dilindungi berdasarkan PP Nomor 7 Tahun 1999.
Ular sanca bodo terdiri atas dua anak jenis (subspesies) yaitu Python molurus molurus yang dijumpai di India, Bangladesh, Pakistan hingga Nepal dan Python molurus bivittatus yang hidup secara alami di Indochina termasuk Indonesia (Sumatera, Kalimantan, Jawa, Bali, Sumbawa, dan Sulawesi).
Ular sanca bodo dalam bahasa Inggris dikenal sebagai Asiatic Rock Python, Burmese Python, atau Tiger Python. Sedangkan dalam bahasa latin, ular yang banyak dijadikan peliharaan ini disebut Python molurus (Linnaeus, 1758) sebagai yang bersinonim dengan Coluber molurus (Linnaeus, 1758).
Ular sanca bodo termasuk ular besar lantaran mampu mencapai panjang 9 meter, meskipun rata-rata hanya mencapai 5 meter saja. Berat tubuh Burmese Python ini mampu mencapai 160 kg.
Ular sanca bodo (Python molurus) mempunyai warna dasar kulitnya coklat muda hingga coklat tua, ada pula yang kuning atau krem, dengan belang-belang hitam atau coklat tua. Corak belang pada sanca bodo berupa jaringan dengan mata jaring hampir berbentuk segi empat.
Ular sanca bodo secara alami mendiami hutan tropis basah. Ular ini senang berada ditempat yang tidak jauh dari air atau tempat lembab bahkan kadang di dekat pemukiman. Ular sanca bodo lebih suka berada di tanah dari pada bergulung di pohon, tetapi sesekall dia akan memanjat pohon untuk mendapatkan sinar matahari guna menaikkan suhu tubuhnya.
Meskipun hewan ini termasuk binatang nokturnal (beraktifitas di malam hari), namun sanca bodo juga senang berkeliaran disiang hari. Hewan yang banyak dijadikan peliharaan ini ini mematikan mangsanya dengan cara melilit tubuhnya. Makanan kesukaan sanca bodo antara lain tikus, luwak, kera, bajing juga hewan besar seperti babi hutan, rusa dan kijang. Selain itu mereka makan pula burung dan ayam hutan.
Seekor ular bodo betina sekali bertelur bisa mencapai 40 butir bahkan lebih. Telur-telur tersebut akan menetas setelah 60-80 hari. Panjang anak yang baru menetas tersebut berkisar 60-70 cm.
Ular sanca bodo tersebar di India, Bangladesh, Pakistan hingga Nepal hingga ke Indonesia, Laos, Myanmar, Thailand, Vietnam, dan Malaysia. Di Indonesia, ular sanca bodo (Python molurus) dapat ditemukan di Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sumbawa, hingga sebagian Sulawesi. Beberapa dekade terakhir, hewan melata raksasa ini juga dapat ditemukan di hutan di Florida Amerika Serikat akibat banyak para pemeliharanya yang melepaskan hewan ini begitu saja ke alam liar.
Ular sanca bodo meskipun mulai langka di Indonesia tetapi populasinya masih dianggap banyak sehingga IUCN Redlist masih melabelinya dalam status konservasi “Near Threatened” (Hampir Terancam).
Satu yang pasti, meskipun hewan melata ini banyak dipelihara sebagai hewan peliharaan namun banyak yang tidak mengetahui bahwa ular sanca bodo ini termasuk hewan yang dilindungi sebagaimana saudara dekatnya sanca timor (Python timorensis) lantaran semakin langka di alam liar.
Sabtu, 29 Januari 2011
kura-kura hijau
Kura-kura dan penyu adalah hewan bersisik berkaki empat yang termasuk golongan reptil. Bangsa hewan yang disebut (ordo) Testudinata (atau Chelonians) ini khas dan mudah dikenali dengan adanya ‘rumah’ atau batok (bony shell) yang keras dan kaku.
Batok kura-kura ini terdiri dari dua bagian. Bagian atas yang menutupi punggung disebut karapas (carapace) dan bagian bawah (ventral, perut) disebut plastron. Kemudian setiap bagiannya ini terdiri dari dua lapis. Lapis luar umumnya berupa sisik-sisik besar dan keras, dan tersusun seperti genting; sementara lapis bagian dalam berupa lempeng-lempeng tulang yang tersusun rapat seperti tempurung. Perkecualian terdapat pada kelompok labi-labi (Trionychoidea) dan jenis penyu belimbing, yang lapis luarnya tiada bersisik dan digantikan lapisan kulit di bagian luar tempurung tulangnya.
Dalam bahasa Indonesia, kita mengenal tiga kelompok hewan yang termasuk bangsa ini, yalah penyu (bahasa Inggris: sea turtles), labi-labi atau bulus (freshwater turtles), dan kura-kura (tortoises). Dalam bahasa Inggris, dibedakan lagi antara kura-kura darat (land tortoises) dan kura-kura air tawar (freshwater tortoises atau terrapins).
Bagaimana batok kura-kura itu terbentuk dan berkembang dalam proses evolusinya, belum diperoleh keterangan yang jelas. Fosil kura-kura tertua kedua yang berasal dari Masa Trias (sekitar 210 juta tahun silam), Proganochelys, telah berbentuk mirip dengan kura-kura masa kini. Perbedaannya, tulang belulang di bagian punggung belum begitu melebar dan belum semuanya menyatu membentuk tempurung yang sempurna. Kura-kura purba hidup dan berkembang kurang lebih sejaman dengan dinosaurus. Archelon, misalnya, merupakan kura-kura raksasa yang diameter tubuhnya dapat mencapai lebih dari 4 m. Fosil kura-kura tertua yang ditemukan saat ini adalah Odontochelys yang ebrasal dari sekitar 220 juta tahun silam.
Banyak jenis kura-kura yang hidup sekarang mampu menyembunyikan kepala, kaki dan ekornya ke dalam tempurungnya, sehingga dapat menyelamatkan diri. Namun beberapa kura-kura primitif, seperti contohnya penyu, tak dapat menarik masuk anggota badannya itu.
Kebiasan Hidup
Kura-kura hidup di berbagai tempat, mulai daerah gurun, padang rumput, hutan, rawa, sungai dan laut. Sebagian jenisnya hidup sepenuhnya akuatik, baik di air tawar maupun di lautan. Kura-kura ada yang bersifat pemakan tumbuhan (herbivora), pemakan daging (karnivora) atau campuran (omnivora).
Kura-kura tidak memiliki gigi. Akan tetapi perkerasan tulang di moncong kura-kura sanggup memotong apa saja yang menjadi makanannya.
Ukuran tubuh kura-kura bermacam-macam, ada yang kecil ada yang besar. Biasanya ditunjukkan dengan panjang karapasnya (CL, carapace length). Kura-kura terbesar adalah penyu belimbing, yang karapasnya dapat mencapai panjang 300 cm. Labi-labi terbesar adalah labi-labi irian, dengan panjang karapas sekitar 51 inci. Sementara kura-kura raksasa dari Kep. Galapagos dan Kep. Seychelles panjangnya dapat melebihi 50 inci. Sedangkan yang terkecil adalah kura-kura mini dari Afrika Selatan, yang panjang karapasnya tidak melebihi 8 cm.
Kura-kura berbiak dengan bertelur (ovipar). Sejumlah beberapa butir (pada kura-kura darat) hingga lebih dari seratus butir telur (pada beberapa jenis penyu) diletakkan setiap kali bertelur, biasanya pada lubang pasir di tepi sungai atau laut, untuk kemudian ditimbun dan dibiarkan menetas dengan bantuan panas matahari. Telur penyu menetas kurang lebih setelah dua bulan (50-70 hari) tersimpan di pasir.
Jenis kelamin anak kura-kura yang bakal lahir salah satunya ditentukan oleh suhu pasir tempat telur-telur itu tersimpan. Pada kebanyakan jenis kura-kura, suhu di atas rata-rata kebiasaan akan menghasilkan hewan betina. Dan sebaliknya, suhu di bawah rata-rata cenderung menghasilkan banyak hewan jantan.
Kura-kura termasuk salah satu jenis hewan yang berumur panjang. Reptil ini dapat hidup puluhan tahun, bahkan seekor kura-kura darat dari Kep. Seychelles tercatat hidup selama 152 tahun (1766 – 1918).
Langganan:
Postingan (Atom)